Jangan Panggil Aku China

Indonesia memiliki keragaman budaya, suku dan agama. Memiliki puluhan provinsi dengan adat istiadat yang berbeda membuat Indonesia kaya. Kultur budaya pun banyak teradopsi dari luar negeri seribu pulau ini. Budaya Melayu, Arab, Portugis, India, Belanda menyatu kental dengan budaya asli Indonesia, termasuk juga budaya yang datang dari negeri tirai bambu, China.

Warga keturunan Tionghoa, begitu dulu biasa disebut oleh jaman Orde Baru selalu menjadi warga kelas dua dalam strata kependudukan di Indonesia. Tetapi suka tak suka, mau tak mau, merekalah justru yang memimpin roda perekonomian. Biar begitu tak jarang warga keturunan ini selalu mendapat diskriminasi dalam setiap hal yang berhubungan dengan birokrasi pemerintahan. Perlakuan tak adil pun sempat menerpa muka atlet yang notabene telah mengharumkan nama Indonesia.

Susi Susanti misalnya. Siapa yang tak kenal dengannya. Pahlawan olahraga bulutangkis yang selalu mengangkat tinggi harkat dan martabat bangsa Indonesia di mata dunia dengan berbagai prestasinya yang luar biasa. Susi, mojang Parahiyangan, lahir dan besar di Indonesia. Tutur kata, bahasa dan polah tingkahnya mencerminkan budaya asli negeri Pasundan yang ramah. Terlahir dengan nama Lucia Fransisca Susi Susanti, mempunyai orang tua berdarah Tionghoa. Hanya karena berdarah Tionghoa, Susi sempat mendapat kesulitan mendapatkan selembar surat kewarganegaraan. Padahal jika dibandingkan dengan perjuangan dan prestasinya di karpet hijau, apalah arti surat kewarganegaran.

Berbagai negara siap dan mau mengangkat Susi menjadi warga negara kelas satu. Tapi justru Susi lebih memilih tetap menjadi warga negara Indonesia. Negeri yang dicintai, di hormati dan telah membesarkannya.

“Saya orang Indonesia, lahir dan besar di Tasikmalaya. Biarlah seluruh prestasi saya persembahkan untuk bangsa ini,” ujarnya.

Susi pun membuktikan ucapannya. Deretan prestasi luar biasa yang diraihnya dengan meninggalkan masa mudanya dan menetap lama di kawah candradimuka bernama Pelatnas, adalah semata-mata demi nama Indonesia. Lelehan air mata yang terurai saat menggenggam medali emas Olimpiade Barcelona tahun 1993, menjadi saksi bisu betapa Susi cinta akan tanah airnya. Susi tak sendiri, Hendrawan, Ivana Lie dan beberapa atlit lainnya yang juga merupakan pahlawan bulutangkispun tak luput dari perlakuan serupa. Beruntung, bantuan segera datang. Susi, Hendrawan, Ivana Lie dan lainnya segera mendapatkan surat pengakuan yang diidam-idamkannya.

Cerita menyedihkan justru datang dari Tong Sinfu, mantan pelatih pelatnas. Om Tong, demikian beliau biasa di sapa, lahir dan besar di Teluk Betung, Lampung, 70 tahun silam. Pelatih yang telah melahirkan puluhan atlit berprestasi itu memilih hijrah ke Tiongkok¸ setelah permohonannya menjadi warga negara Indonesia (WNI) di tolak.

‘’Waktu itu saya sudah berusaha mati-matian menjadi WNI, tapi tetap tidak dikabulkan. Apa mau dikata,” ujarnya. Dia hanya terdiam ketika ditanya apakah masih ingin menjadi Warga Negara Indonesia (WNI), demikian sumber wikipedia menulis. Om Tong tak kuasa menahan benteng baja yang menjulang menghadang. Ia hanya bisa tertunduk pasrah menerima kenyataan pahit yang menggurat suratan tangannya.

Cerita di atas merupakan sepenggal cerita suram warga “kelas dua” yang telah mengorbankan hidupnya demi Merah Putih. Padahal, melalui olahraga mereka menunjukkan jati diri sebagai seorang patriot sejati. Mereka memang terlahir sebagai warga keturunan, tapi jangan pernah tanyakan arti nasionalisme kepada mereka. Mereka tak butuh basa basi penghias bibir untuk menjabarkan makna rasa cinta bangsa. Meski terlahir dengan mata yang meruncing sipit, tetapi mata hati mereka terbuka lebar untuk menjabarkan makna persatuan dan persaudaraan. Gong Xi Fat Chai. (Arief Rachman)


Sumber : Badminton.com

Post a Comment