Perang Salib, Tujuh Kata, Pancasila, dan Resistensi Diam-Diam
Label:
Knowledge
by Rendra Aphe
02 June 2012
“Nah” kata Leopold Weiss dalam “Road to Mecca” bukunya yang otoritatif,
“apabila seorang Barat memperbincangkan sesuatu, katakanlah Hiduisme
atau Buddhisme, ia akan selalu sadar
akan perbedaan-perbedaan asasi antara ideologi-ideologi ini dengan
dimilikinya. Ia boleh mengagumi bagian ini dan itu dari ideologi mereka,
akan tetapi tak pernah mempertimbangkan kemungkinan menggantikannya
dengan miliknya. Karena ia a priori mengakui ketidak mungkinan ini, maka
ia sanggup menimbang kultur-kultur yang benar-benar asing semacam itu
dengan ketetapan hati dan sering dengan perasaan simpatik. Akan tetapi,
bila datang kepada Islam –yang tidak asing bagi nilai-nilai Barat
seperti halnya dengan faksafah Hindu dan Budha – maka ketenangan Barat
tadi selalu terganggu dengan syak wasangka emosional”
Untuk menjelaskan pandangan Leopold Weiss, kita harus menoleh ke belakang ketika Paus Urbanus II menghasut orang-orang Kristen untuk memerangi apa yang ia sebut ‘bangsa keji’ yang menguasai Tanah Suci tiga agama; Yahudi, Kristen, dan Islam pada bulan Nopember 1095, sekaligus memproklamasikan ‘piagam peradaban Barat’. Kedengarannya tak masuk akal. Akan tetapi dalam psikoanalis, kelainan yang tidak dapat diterangkan dalam cita-rasa serta prasangka terkenal dengan istilah Idisyncrasis dapat diikuti kembali ke pengalaman pada masa yang paling ‘normatif’, yakni permulaan masa kanak-kanaknya?
Untuk menjelaskan pandangan Leopold Weiss, kita harus menoleh ke belakang ketika Paus Urbanus II menghasut orang-orang Kristen untuk memerangi apa yang ia sebut ‘bangsa keji’ yang menguasai Tanah Suci tiga agama; Yahudi, Kristen, dan Islam pada bulan Nopember 1095, sekaligus memproklamasikan ‘piagam peradaban Barat’. Kedengarannya tak masuk akal. Akan tetapi dalam psikoanalis, kelainan yang tidak dapat diterangkan dalam cita-rasa serta prasangka terkenal dengan istilah Idisyncrasis dapat diikuti kembali ke pengalaman pada masa yang paling ‘normatif’, yakni permulaan masa kanak-kanaknya?
Betapa banyak perang
telah terjadi di antara bangsa-bangsa dan kemudian terlupakan, dan
betapa besar pula kebencian satu terhadap lain bangsa yang dalam masanya
tampaknya takkan dapat dihapus, akan tetapi kemudian berubah menjadi
persahabatan. Luka yang disebabkan Perang Salib bukanlah terbatas pada
bentrokan senjata; kerusakan itu adalah pertama-tama dan terutama adalah
luka intelektual, peracunan alam fikiran Barat terhadap dunia Islam
dengan perantaraan ‘penyalah tafsiran’ yang melantur atas ajaran dan
cita Islam. Sebab apabila panggilan untuk Perang Salib adalah ‘syah’
maka Nabi kaum Muslimin harus dicap sebagai seorang anti Nabi Isa atau
dajjal dan agamanya dilukiskan dalam istilah-istilah terkeji sebagai
sumber kebejatan dan kedurhakaan. Pada Perang Salib itulah buah-buah
pikiran yang paling mengerikan, bahwa Islam adalah suatu agama yang
mengajarkan sensualisme yang kasar serta kekejaman tak
berperikemanusiaan, hanyalah peraturan-peraturan ritual belaka dan bukan
untuk mensucikan hati. Buah fikiran ini masuk ke dalam jiwa orang Barat
dan tak hendak keluar lagi. Nabi Muhammad, nabi yang memerintahkan
pengikutnya agar menghormati Nabi-Nabi agama lain, telah dihina dengan
mengganti namanya menjadi “Mahound”
Merupakan ironi sejarah
jika pengalaman Perang Salib, dendam Eropa terhadap Islam diputar
kembali sampai pada hari ini. Bayangan Perang Salib, perang yang
‘digagas’ Paus Urbanus II terus mengambang-ambang dan pantang mati
sampai hari ini.
Citra Islam yang dikonsep Barat memperoleh
kejelasannya, dan terungkap dalam ‘Polemik Kebudayaan’ yang dimuat di
‘Pujangga Baru’ dan ‘Suara Umum’ antara bulan Agustus sampai dengan
September 1935, antara pokok fikiran; St. Takdir Alisyahbana di satu
fihakm dengan Sanusi Pane; Dr.Poerbatjaraka; Dr.Sutomo; Tjindarbumi;
Adinegora; Dr.M.Amir; dan Ki Hajar Dewantara di fihak lain. Kecuali St.
Takdir Alisyahbana, semua yang terlibat dalam polemik memperjuangkan
budaya Hindu-India.
Kebencian terhadap Islam yerus berlanjut.
Setelah pidato pertama Muh.Yamin, dalam Sidang Pertama tanggal 29 Meik
1945, acara Pembicaraan tentang Dasar Negara Indonesia yang membeberkan
konsep 5 Dasar; Peri Kebangsaan; Peri Kebangsaan; Peri Ketuhanan; Peri
Kerakyatan; Kesejahteraan Rakyat. Maka giliran dari wakil Islam Ki
Bagoes Hadikoesoemo mengucapkan pidato pandangannya pada tanggal 31 Mei
1945, dalam acara sidang yang sama.
“Paduka Tuan Ketua,
sidang yang terhormat! Pembicaraan saya yang sedikit panjang ini rupanya
sudah cukup dan tidak ada lagi rasanya yang perlu sya paparkan. Maka
akan saya tutup pidato saya ini dengan mendo’a kepada Allah:
“Mudah-mudahan Negara Indonesia baru yang akan datang itu berdasarkan
agama Islam dan akan menjadi Negara yang tegak dan teguh serta kuat dan
kokoh” Amin!
Pidato Ki Bagoes Hadikoesoemo dari golongan Islam
yang hanya diwakili oleh 5 orang dari keseluruhan anggota BPUPKI yang
berjumlah 60 orang kemudian ada tambahan 6 orang jadi total berjumlah 66
orang langsung diserang oleh Soepomo pada kesempatan acara sidang, dan
tanggal yang sama. Tanggal 31 Mei 1945. Soepomo adalah anggota Saikoo
Hooin, lahir dengan nama Raden Soepomo pada tanggal 22 Januari 1903 di
Sukoharjo (Solo), bergelar Profesor, Master, Doktor, lulusan Universitas
Leiden.
“……Jikalau di Indonesia didirikan Negara Islam, Kata
Soepomo dalam pidatonya, “maka tentu akan timbul soal-soal “minderheden”
soal golongan agama yang kecil-kecil, golongan agama Kristen dan
lain-lain. Meskipun Negara Islam akan menjamin dengan sebai-baiknya
kepentingan golongan-golongan lain itu, akan tetapi golongan-golongan
agama kecil itu tentu tidak bisa mempersatukan dirinya dengan Negara.
Oleh karena itu, cita-cita Negara Islam itu tidak sesuai denga cita-cita
Negara persatuan yang telah diidam-idamkan oleh kita semuanya dan juga
yang telah ‘dianjurkan’ (tanda kutip dari saya) oleh Pemerintah
Balatentara. (Risalah Sidang-Sidang Badan Penyelidikan Usaha-Usaha
Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), Panitia Persiapan Kemerdekaan
Indonesia (PPKI), 18 Mei 1945-22 Agustus 1945, Sekretariat Negara
Republik Indonesia, Jakarta, 1998, hal.44-59).
Perang Salib
‘pantang mati’ terus berlanjut, juga masih dalam sidang-sidang BPUPKI.
Giliran Sukarno dalam lanjutan acara sidang tentang Dasar Negara
Indonesia, pada tanggal 1 Juni (Hari lahir Pancasila?). Dalam pidato
pandangannya, substansinya kurang lebih sama dengan pandangan Moh.Yamin,
hanya saja Sukarno menamakan k- 5 Dasarnya itu dengan istilah
‘Pancasila”
“Saya minta” Kata Sukarno, “ saudara Ki
Bagoeshadikoesoemo dan saudara-saudara Islam lain: maafkan saya memakai
perkataan , “kebangsaan” ini! Sayapun orang Islam. Tetapi saya minta
kepada saudara-saudara, janganlah saudara-saudara salah faham jikalau
saya katakana bahwa dasar ‘pertama’ (tanda kutip dari saya) buat
Indonesia ialah dasar ke b a n g s a a n. Itu bukan berarti satu
kebangssan dalam arti yang sempit, tetapi saya menghendaki satu
nasionale staat (Risalah, hal. 93).
Selanjutnya Sukarno
menawarkan 5 prinsip yaitu: Kebangsaan Indonesia; Internasionalisme;
atau perikemanusiaan; Mufakat, atau demokrasi; Kesejahteraan soial; dan
prinsip yang terakhir ke-Tuhanan. Masih dalam penjelasan 5 prinsipnya
yang dinamakan Pancasila, Sukarno memeras lima dasar itu menjadi 3 saja.
“Barangkali tidak semua Tuan-tuan senang kepada Trisila ini, dan minta
satu, satu dasar saja? Baiklah, saya jadikan satu, saya kumpulkan lagi
menjadi satu. Aoakah satu itu?” Maka Sukarno memerasnya menjadi satu
perkataan saja yaitu; gotong-royong’ (Risalah, hal. 102-103). Prinsip 5
dasar yang ditawarkan Sukarno yang dinamakan Pancasila masih merupakan
usulan yang belum ditetapkan dalam UUD 1945.
Lima dasar yang
ditawarkan Moh.Yamin, dan kemudian Sukarno menamakan Pancasila bukan
berarti tidak menimbulkan persoalan-persoalan di kelak kemudian hari.
Misalnya, polemik tentang ‘bias’ Pancasila versi Sukarno yang dijadikan
ideology Negara, hari kelahiran Pancasila 1 Juni 1945 di satu fihak, dan
‘lima dasar’ dalam Preambule UUD 1945 yang susunanya berbeda jauh
dengan lima dasanya Moh.Yamin, dan ‘Pncasila’-nya Sukarno di fihak lain.
Legalitas dasar Negara Republik Indonesia bagi kaum nasionalis tentu
saja Pancasila-nya Sukarno yang nyaris dipeluk seperti ‘agama’. Dan
tidak mempermasalahkan (mengabaikan) susunan hukum dasar dalam Preambule
pada UUD 1945.
Lima dasar yang telah ditetapkan dan
tercantum dalam ‘preambule’ pada alinea ke-empat berbunyi; “……, maka
disusunlah kemerdekaan kebangsaan Indonesia itu dalam satu hukum dasar
Negara Republik Indonesia, yang berkedaulatan rakyat, dengan berdasar
kepada: ke-Tunanan dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi
pemeluk-pemeluknya, menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab,
persatuan Indonesia, dan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat
kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan serta dengan memujudkan
suatu keadilan social bagi seluruh rakyat Indonesia”
Yang
menjadi pertanyaan selama bertahun-tahun, yang telah banyak menumpahkan
darah warga Negara sendiri tentang ‘azas tunggal’ Pancasila yang tidak
disebut dalam hukum dasar UUD 1945, lalu yang menjadi idiologi Negara
itu azas ‘lima dasar’-nya Yamin, Pancasila ‘lima prinsip’ versi Bung
Karno, atau ‘lima dasar’ yang tertuang dalam Pembukaan UUD 1945 yang
tidak ada kata ‘Pancasila’-nya?
Rancangan Pembukaan Undang
Dasar dibahas oleh 38 orang anggota BPUPKI dan para anggota Chuo
Sang-In, dan dirumuskan oleh Sembilan orang yaitu; Ir.Sukarno,
Drs.Mohammat Hatta, Mr.AA.Maramis, Abikoesno Tjokrosoejoso, Abdulkahar
Muzakir, H.A. Salim, Mr. Achmad Soebarjo, Wachid Hasyim, dan Mr.Muhammad
Yamin. Perhatian utama dari Panitia Sembilan ini adalah mencari modus,
persetujuan antara fihak Islam dan fihak kebangsaan yang perseteruan itu
timbul sejak sidang-sidang BPUPKI pertama.
Meskipun demikian
resistensi terhadap Islam tidak pernah pudar. Sehari setelah
membicarakan bentuk Negara tanggal 10 Juli 1945, yang juga membentuk
panitia Sembilan untuk merancang preambule hukum dasar, pada tanggal 11
Juli Latuharhary keberatan atas dicantumkannya ‘tujuh kata’ dalam
‘preambule’ Latuharhary menyatakan argumennya:”…..Kalau diwajibkan pada
pemeluk-pemeluk agama Islam untuk menjalankan syariat Islam, sudah tentu
kalimat ini akan dipergunakan terhadap adat istiadat di sini, umpamanya
terhadap hak tanah. Tanah itu bukan saja diwariskan pada anak-anak yang
beragma Islam, tetapi juga yang beragama Kristen. Jadi kalimat semacam
itu dapat membawa kekacauan yang bukan kecil terhadap pada adat
istiadat. Oleh sebab itu, baiklah kita mencari modus lain yang tidak
membawa akibat yang bisa mengacaukan rakyat”
Pernyataan
‘tendensius’ warisan Perang Salib di atas dijawab oleh H. Agus Salim:
“…..wajib umat Islam menjalankan syariat, biarpun tidak Indonesia
Merdeka, biarpun tidak ada hokum dasar Indonesia, itu adalah hak umat
Islam yang dipegangnya”
Kewajiban menjalankan syari’at Islam
bagi orang Islam yang tercantum di dalam Pembukaan UUD 1945 akhirnya
dihapus pada sidang PPKI 1945 oleh Muhammat Hatta atas ‘ancaman’ utusan
golongan Indonesia Timur, dengan alasan yang berbeda dengan Latuharhary
yaitu; apabila ‘tujuh kata’ tidak dihapus maka rakyat Indonesia Timur
tidak mau bergabung dengan Indonesia yang hendak dibentuk. Ternyata
alasan ini hanya sebagai alat saja untuk tidak melibatkan Islam dalam
Negara. Terbukti orang Indonesia Timur (Kristen) tidak sepenuh hati
bergabung dengan NKRI dengan membiarkan RMS berkeliaran dengan bebas.
Sasaran ‘kebenciannya’ bisa berupa apa saja; FPI, MMI, FUI dengan alasan
organisasi yang suka ‘kekerasan’, tapi sebenarnya sasaran ‘latent’-nya
adalah Islam, baik ‘Islam garis keras’ maupun Islam ‘garis empuk’