Ustadz Ahmad Sarwat dalam kolom konsultasinya pernah ditanya terkait
dengan pernyataan Dr. Eggi Sudjana, SH. Msi., yang dalam kesempatan
sebelumnya melakukan debat dengan Abdul Muqsith dari kelompok
Islam Liberal dan Pluralisme Agama di salah satu stasiun televisi yang
disiarkan secara nasional. Debat ini dilakukan menyikapi bentrokan yang
terjadi antara AKK-BB (Aliansi Kebangsaan untuk Kebebasan Beragama dan
Berkeyakinan) dengan FPI di Monumen Nasional karena pertentangan dalam
menghadapi kasus aliran sesat Ahmadiyah di Indonesia.
Dalam menanggapi hal tersebut, Ustadz Ahmad Sarwat menyatakan hal berikut:
Memang cukup mengejutkan juga apa yang disampaikan oleh Dr. Eggi Sudjana, SH. Msi., dalam talkshow di TV swasta malam itu. Beliau menyebutkan bahwa kalau dicermati, ternyata justru negara Indonesia ini secara hukum bukanlah berdasarkan Pancasila. Sebaliknya, di dalam UUD 45 malah ditegaskan bahwa dasar negara kita adalah Ketuhanan Yang Maha Esa.
Dan sesuai dengan Preambule atau Pembukaan UUD 1945, Tuhan yang dimaksud tidak lain adalah Allah Subhanahu wa Ta’ala. Sehingga secara hukum jelas sekali bahwa dasar negara kita ini adalah Islam atau hukum Allah Subhanahu wa Ta’ala..
Pernyataan itu muncul saat berdebat dengan Abdul Muqsith yang mewakili kalangan AKK-BB. Saat itu Abdul Muqsith menyatakan bahwa Indonesia bukan negara Islam, bukan berdasarkan Al Quran dan hadits, tetapi berdasarkan Pancasila dan UUD 45.
Mungkin maunya Abdul Muqsith menegaskan bahwa Ahmadiyah boleh saja melakukan kegiatan yang bertentangan dengan ajaran Islam, toh negara kita kan bukan negara Islam, bukan berdasarkan Quran dan Sunnah.
Tetapi tiba-tiba Mas Eggi balik bertanya tentang siapa yang bilang bahwa dasar negara kita ini Pancasila? Mana dasar hukumnya kita mengatakan itu?
Abdul Muqsith cukup kaget diserang seperti itu. Rupanya dia tidak siap ketika diminta untuk menyebutkan dasar ungkapan bahwa negara kita ini berdasarkan Pancasila dan UUD 45.
Dalam menanggapi hal tersebut, Ustadz Ahmad Sarwat menyatakan hal berikut:
Memang cukup mengejutkan juga apa yang disampaikan oleh Dr. Eggi Sudjana, SH. Msi., dalam talkshow di TV swasta malam itu. Beliau menyebutkan bahwa kalau dicermati, ternyata justru negara Indonesia ini secara hukum bukanlah berdasarkan Pancasila. Sebaliknya, di dalam UUD 45 malah ditegaskan bahwa dasar negara kita adalah Ketuhanan Yang Maha Esa.
Dan sesuai dengan Preambule atau Pembukaan UUD 1945, Tuhan yang dimaksud tidak lain adalah Allah Subhanahu wa Ta’ala. Sehingga secara hukum jelas sekali bahwa dasar negara kita ini adalah Islam atau hukum Allah Subhanahu wa Ta’ala..
Pernyataan itu muncul saat berdebat dengan Abdul Muqsith yang mewakili kalangan AKK-BB. Saat itu Abdul Muqsith menyatakan bahwa Indonesia bukan negara Islam, bukan berdasarkan Al Quran dan hadits, tetapi berdasarkan Pancasila dan UUD 45.
Mungkin maunya Abdul Muqsith menegaskan bahwa Ahmadiyah boleh saja melakukan kegiatan yang bertentangan dengan ajaran Islam, toh negara kita kan bukan negara Islam, bukan berdasarkan Quran dan Sunnah.
Tetapi tiba-tiba Mas Eggi balik bertanya tentang siapa yang bilang bahwa dasar negara kita ini Pancasila? Mana dasar hukumnya kita mengatakan itu?
Abdul Muqsith cukup kaget diserang seperti itu. Rupanya dia tidak siap ketika diminta untuk menyebutkan dasar ungkapan bahwa negara kita ini berdasarkan Pancasila dan UUD 45.
Saat
itulah mas Eggi langsung menyebutkan bahwa yang ada justru UUD 45
menyebutkan tentang dasar negara kita adalah Ketuhanan Yang Maha Esa,
bukan Pancasila. Sebagaimana yang disebutkan dalam UUD 45 pasal 29 ayat
1.
Kalau dipikir-pikir, ada benarnya juga apa yang dikatakan
oleh Eggi Sujana itu. Iya ya, mana teks resmi yang menyebutkan bahwa
dasar negara kita ini Pancasila. Kita yang awam ini agak terperangah
juga mendengar seruan itu.
Entahlah apa ada ahli hukum lain
yang bisa menjawabnya. Yang jelas, si Abdul Muasith itu hanya bisa diam
saja, tanpa bisa menjawab apa yang ditegaskan leh Eggi Sujana.
Dan rasanya kita memang tidak atau belum menemukan teks resmi yang menyebutkan bahwa dasar negara kita ini Pancasila.
Diskusi itu menjadi menarik, lantaran kita baru saja tersadar bahwa
dasar negara kita menurut UUD 45 ternyata bukan Pancasila sebagaimana
yang sering kita hafal selama ini sejak SD. Pasal 29 UUD 45 aya 1 memang
menyebutkan begini:
“1. Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa.”
Lalu siapakah Tuhan yang dimaksud dalam pasal ini, jawabannya menurut
Eggi adalah Allah Subhanahu wa Ta’ala.. Karena di pembukaan UUD 45
memang telah disebutkan secara tegas tentang kemerdekaan Indonesia yang
merupakan berkat rahmat Allah Subhanahu wa Ta’ala..
Dalam
argumentasi mas Eggi, yang namanya batang tubuh dengan pembukaan tidak
boleh terpisah-pisah atau berlawanan. Kalau di batang tubuh yaitu pasal
29 ayat 1 disebutkan bahwa negara berdasarkan kepada Ketuhanan Yang Maha
Esa, maka Tuhan itu bukan sekedar Maha Esa, juga bukan berarti tuhannya
semua agama. Tetapi tuhannya umat Islam, yaitu Allah Subhanahu wa
Ta’ala..
Hal itu lantaran secara tegas Pembukaan UUD 45
menyebutkan lafadz Allah Subhanahu wa Ta’ala.. Dan hal itu tidak boleh
ditafsirkan menjadi segala macam tuhan, bukan asal tuhan dan bukan
tuhan-tuhan buat agama lain. Tuhan Yang Maha Esa di pasal 29 ayat 1 itu
harus dipahami sebagai Allah Subhanahu wa Ta’ala., bukan Yesus, bukan
Bunda Maria, bukan Sidharta Gautama, bukan dewa atau pun tuhan-tuhan
yang lain.
Lepas apakah nanti ada ahli hukum tata negara yang
bisa menepis pandangan Eggi Sujana itu, yang pasti Abdul Muqsith tidak
bisa menjawabnya. Dan pandangan bahwa negara kita ini bukan negara Islam
serta tidak berdasarkan Quran dan Sunnah, secara jujur harus kita akui
harus dikoreksi kembali.
Sebab kalau kita lihat latar belakang
semangat dan juga sejarah terbentuknya UUD 45 oleh para pendiri negeri
ini, nuansa Islam sangat kental. Bahkan ada opsi yang cukup lama untuk
menjadikan negara Indonesia ini sebagai negara Islam yang formal.
Bahkan awalnya, sila pertama dari Pancasila itu masih ada tambahan 7
kata, yaitu: “dengan menjalankan syariat Islam bagi para pemeluknya”.
Namun lewat tipu muslihat dan kebohongan yang nyata, dan tentunya
perdebatan panjang, 7 kata itu harus dihapuskan. Sekedar memperhatikan
kepentingan kalangan Kristen yang merasa keberatan dan main ancam mau
memisahkan diri dari NKRI.
Padahal 7 kata itu sama sekali tidak
mengusik kepentingan agama dan ibadah mereka. Toh Indonesia ini memang
mayoritas muslim, tetapi betapa lucunya, tatkala pihak mayoritas mau
menetapkan hukum di dalam lingkungan mereka sendiri lewat Pancasila, kok
bisa-bisanya orang-orang di luar agama Islam pakai acara protes segala.
Padahal apa urusannya mereka dengan 7 kata itu.
Kalau
dipikir-pikir, betapa tidak etisnya kalangan Kristen saat awal kita
mendirikan negara, di mana mereka sudah ikut campur urusan agama lain,
yang mayoritas pula. Sampai mereka berani nekat mau memisahkan diri
sambil berdusta bahwa Indoesia bagian timur akan segera memisahkan diri
kalau 7 kata itu tidak dihapus.
Akhirnya dengan legowo para
ulama dan pendiri negara ini menghapus 7 kata itu, demi untuk persatuan
dan kesatuan. Tapi apa lacur, air susu dibalas air tuba. Alih-alih duduk
rukun dan akur, kalangan Kristen yang didukung kalangan sekuler itu
tidak pernah berhenti ingin menyingkirkan Islam dari negara ini.
Dan semangat penyingkiran Islam dari negara semakin menjadi-jadi dengan
adanya penekanan asas tunggal di zaman Soeharto. Semua ormas apalagi
orsospol wajib berasas Pancasila.
Sesuatu yang di dalam UUD 45
tidak pernah disebut-sebut. Malah yang disebut justru negara ini
berdarakan kepada Ketuhanan Yang Maha Esa. Dan Tuhan yang dimaksud itu
adalah Allah Subhanahu wa Ta’ala. sesuai dengan yang tercantum di dalam
Pembukaan UUD 45.
Jadi sangat tepat kalau kalangan sekuler
harus sibuk membuka-buka kembali literatur untuk cari-cari argumen yang
sekiranya bisa membuat Islam jauh dari negara ini.
Namanya
perjuangan, pasti mereka akan terus mencari dan mencari argumen-argumen
yang sekiranya bisa dijadikan bahan untuk dijadikan alibi yang
menjauhkan Islam dari negara. Sebab mereka memang alergi dengan Islam.
Seolah-olah Islam itu harus dimusuhi, atau merupakan bahaya laten yang
harus diwaspadai.
Kita harus akui bahwa kalangan sekuler anti
Islam itu cukup banyak. Dalam kepala mereka, mungkin lebih baik negara
ini menajdi komunis dari pada jadi negara Islam.