PERSPEKTIF EKONOMI ISLAM
DALAM HAL HUTANG, RIBA DAN KREDIT

Nabilah A.Akrom MA

HUTANG  (AL-QARDH)
Al-Qardh adalah pemberian harta kepada orang lain yang dapat ditagih atau diminta kembali, atau dengan kata lain meminjamkan tanpa mengharapkan imbalan.
Dalam Fiqh Klasik  Qardh   termasuk  Aqd at-Tatawwui, atau akad saling membantu dan bukan transaksi komersial.Lanfdasan Hukumnya antara lain adalah :

1. QS Al-Hadid :
Yang artinya : “Siapakah yang mau meminjamkan kepada Allah pinjaman yang baik, Allah akan lipat gandakan pinjaman itu untuknya dan dia akan memperoleh pahala yang banyak’.

2. Hadits Riwayat  Ibnu Majah, Rasulullah berkata : ukan seorang muslim (mereka), yang meminjamkan muslim (lainnya ) dua kali kecuali yang satunyaadalah (senilai) sedekah.”  (HR Ibnu Hibban no.2421, kitab al-Ahkam; Ibnu Hibban dan Baihaqi).

3. Ijma, Kesepakatan para ulama bahwa Qardh boleh dilakukan sebagai suatu tuntutan hidup bersosial.



Dengan demikian prinsip dasar Hutang dalam Islam adalah untuk sosial, baik pinjaman tersebut untuk kebutuhan konsumtif atau produktif. Namun, kecenderungan manusia bila meminjamkan dana untuk tujuan produktif (usaha yang mendatangkan nilai ekonomis), selalu menginginkan imbalan balik. Maka pinjaman untuk produktif, Islam menentukan aturan lain dalam bab “Investasi”, melalui dua skema investasi yaitu:

 1. Mudharabah, yaitu akad kerjasama usha antara dua pihak di mana pihak pertama (shahibul mal) menyediakan seluruh (100%) modal, sedangkan pihak lainnya menjadi pengelola. Keuntungan usaha dibagi menurut kesepakatan (bagi hasil), sedangkan rugi ditanggung pemilik modal jika kerugian bukan akibat kelalaian si pengelola.

2. Musyarakah adalah akad kerjasama antara dua pihak atau lebih untuk suatu usaha tertentu dimana masing-masing memberikan kontribusi dana dengan kesepakatan bahwa keuntungan dan kerugian akan ditanggung bersama sesuai kesepakatan. Musyarakah bisa juga terjadi dalam bentuk seperti mudharabah di mana satu pihak pemilik modal dan pihak lain pengelalo, namun si pemilik modal juga ikut serta dalam pengelolaan/maganerial usaha.

Jadi, Hutang yang digunakan untuk kebutuhan konsumtif semata-mata bersifat sosial, sehingga pengembaliannya pun harus sesuai dengan besarnya jumlah dana yang dipinjamkan kecuali, si penghutang dengan kerelaan hati ingin memberikan tambahan ketika mengembalikan hutang tersebut. Syaratnya adalah penambahan tersebut bukan dibebankan oleh si pemberi hutang pada awal memberikan pinjaman. karena jika terjadi demikian maka dapat jatuh ke dalam hukum riba yang diharamkan.

Adapun untuk kebutuhan produktif, maka bisa berlaku seperti pola konsumtif (hanya sekedar menolong) atau juga bisa dengan pola investasi (penanaman modal) dengan prinsip bagi hasil seperti dijelaskan di atas.

RIBA
Definisi
Riba secara bahasa bermakna ziyadah  (tambahan).Ada beberapa definisi yang diterangkan para ulama antara lain:
1. Badr ad Din al_Ayni, pengarang Umdatul Qari Syarah Shahih al-Bukhari :  ” Prinsip utama dalam riba adalah penambahan. yaitu penambahan atas harta pokok tanpa adanya transaksi bisnis riil.”

2. Imam Nawawi dari Mazhab Syafi’i menjelaskan : salah satu bentuk riba yang dilarang al-Quran dan as-Sunnah adalah penambahan atas harta pokok karena unsur waktu. Dalam dunia perbankan hal tersebut dikenal dengan bunga kredit sesuai lamanya pinjaman.

Dalil-dalil Haramnya Riba
Riba dengan segala bentuknya adalah haram dan termasuk dosa besar, dengan dasar Al-Qur`an, As-Sunnah, dan ijma  ulama. Dalil dari Al-Qur`an di antaranya adalah: Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.  (Al-Baqarah: 275)

Juga dalam firman-Nya: Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman. Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba), maka ketahuilah, bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu.(Al-Baqarah: 278-279)

Dalil dari As-Sunnah di antaranya: a. Hadits Abu Hurairah radhiyallahu ” Jauhilah tujuh perkara yang menghancurkan  di antaranya  memakan riba.  (Muttafaqun ) b. Hadits Abu Juhaifah radhiyallahu anhu riwayat Al-Bukhari:Semoga Allah melaknat pemakan riba.(HR. Al-Bukhari) Dalam hadits Jabir radhiyallahu  anhu yang diriwayatkan Al-Imam Muslim, yang dilaknat adalah pemakan riba, pemberi riba, penulis dan dua saksinya, lalu Nabi Shallallahu alaihi wa sallam menyatakan: Mereka itu sama.

Para ulama sepakat bahwa riba adalah haram dan termasuk dosa besar. Keadaannya seperti yang digambarkan oleh Ibnu Taimiyah rahimahullahu sebagai berikut:  Tidak ada suatu ancaman hukuman atas dosa besar selain syirik yang disebut dalam Al-Qur`an yang lebih dahsyat daripada riba.Kesepakatan ini dinukil oleh Al-Mawardi rahimahullahu dan An-Nawawi rahimahullahu dalam Al-Majmu (9/294, cetakan Dar Ihya At-Turats Al- Arabi).

Jenis-jenis Riba

Secara garis besar riba dikelompokkan menjadi dua. Masing-masing adalah riba utang piutang dan riba jual beli, yang masing-,asing terbagi lagi menjadi  dua.
(1.) Riba Utang : terbagi menjadi
1. Riba Qardh, yaitu suatu manfaat atau tingkat kelebihan tertentu yang disyaratkan terhadap yang berhutang (muqtaridh)
2.Riba Jahiliyah, yaitu utang dibayar lebig dari pokok karena si peminjam tidak mampu membayar utangnya pada waktu yang ditetapkan

(2). Riba Jual-beli : terbagi menjadi:
1. Riba Fadhl ; pertukaran antar barang sejenis dengan kadar atau takaran yang berbeda sedangkan barang yang dipertukarkan termasuk jenis barang ribawi.
2. Riba Nasi’ah : penangguhan penyerahan atau penerimaan jenis barang ribawi yang dipertukarkan dengan jenis ribawi lainnya. Riba dalam nasi’ah muncul kerena adanya perbedaan, perubahan, atau tambahan antara yang diserahkan saat ini dan yang diserahkan kemudian.

Adapun yang dimaksud dengan barang-barang ribawi adalah:
1.emas dan perak baik dalam bentuk uang maupun dalam bentuk lainnya
2. bahan makanan pokok seperti beras, gandum dan jagung serta bahan makanan tambahan seperti sayur-sayuran dan buah-buahan.

Dampak Negatif Riba

1. Dampak Ekonomi
Di antara dampak ekonoomi riba dalah dampak inflatoir yang diakibatkan oleh bunga sebagai biaya uang. Hal tersebut disebabkan karena salah satu elemen penentuan harga adalah suku bunga. Semakin tinggi suku bunga, semakin tinggi juga harga yang akan ditetapkan pada suatu barang.
Dampak lainnya adalah bahwa utang, dengan rendahnya penerimaan peminjam dan tingginya biaya bunga, akan menjadikan peminjan tidak pernah keluar dari ketergantungan, terlebih lagi bila bunga atas utang tersebut dibungakan.Akibatnya terjadilah utang yang terus menerus. Inilah yang menjelaskan terjadinya kemiskinan struktural yang menimpa lebih dari separo dunia.

2. Sosial Kemasyarakatan
Riba merupakan pendapatan yang didapat secara tidak adil. Para pengambil riba menggunakan uangnya untuk memerintahkan orang lain agar berusaha dan mengembalikan lebih tinggi dari jumlah yang dipinjamkan. Persoalannya, siapa yang menjamin bahwa usaha itu selalu mendapatkan keuntungan sebesar atau lebih besar dari bunga yang ditetapkan?Padahal usaha memiliki dua kemungkinan : berhasil atau gagal.

Berbagai fatwa tentang haramnya bunga bank dan dipandang sebagai riba
1. Majeis Tarjih Muhammadiyah
Majlis Tarjih telah mengambil kepuutsan mengenai hukum ekonomi/keuangan di luar zakat, meliputi masalah perbankan (1968 dan 1972), keungan secara umum (1976), dan koperasi simpan pinjam (1989). Pada tahun 1968 Majlis Tarjih telah memutuskan :\par
a. riba hukumnya haram dengan nash sharih Al-Quran dan as-Sunnah\par
b. bank dengan sistem riba hukumnya haram dan bank tanpa riba hukumnya halal

 2. Sidang Organisasi Konferensi Islam (OKI)\par
Semua peserta Sidang OKI Kedua yang berlangsung di Karachi Pakistan Desember 1970 telah meneypakati sbb;
a. Praktik bank dengan sistem bunga adalah tidak sesuai dengan syariah Islam
b. Perlu segera didirikan bank-bank alternatif yang menjalankan operasinya sesuai dengan prinsip Islam.
Berbagai fatwa dari berbagai penjuru negara muslim, seolah telah menjadi suatu konsesus umum bahwa bunga bank haram

KREDIT

Berkaitan dengan masalah hutang dan riba, pada ero modern sekarang ini sudah umum dikenal apa yang disebut dengan Kredit.
Kredit dapat didefinisikan sebagai suatu pembayaran baik pada transaksi hutang-piutang atau transaksi jual-beli yang dilakukan melalui cara angsur atau bertahap.

Kredit adalah kebalikan dari pembayaran tunai (cash). Pada prinsipnya pembayaran angsur diperbolehkan asal tidak mendzolimi semua pihak. Namun dalam praktek kredit masa kini terutama di bank-bank konvensional, yang mengaitkan pembayaran angsur dengan bunga, maka perlu telaah lebih lanjut.

Hukum Kredit dengan skema bunga tidak terlepas dari hukum bunga itu sendiri. Maka dengan demikian haram hukumnya.
Namun demikian, pembayaran dengan pola kredit adalah merupakan kebutuhan. Maka Islam memberikan jalan keluar, yaitu sistem kredit dengan skema non riba.

Skema transaksi kredit yang biasa dipakai dalam perbankan Islam adalah dengan menggunakan prinsip yang disebut  Murabahah.
Murabahah  prinsipnya adalah jual beli barang pada harga asal dengan tambahan yang disepakati.

Secara umum perbedaan antara kredit berbasis bunga dengan kredit murabahah adalah sebagai berikut :
1. Harga barang pada kredit berbunga dapat melambung tinggi sesuai dengan perpanjangan waktu angsuran yang ada. Sedangkan harga barang pada murabahah bersifat tetap sesuai dengan kesepakatan di awal transaksi. Jika ada penambahan harga dari harga cash dengan harga kredit, dimungkinkan adanya dengan kesepakatan kedua belah pihak di awal waktu. Selisish harga ini yang disebut  margin.  Margin bersifat tetap sehingga harga pun tetap.

2. Besarnya jumlah angsuran pada kredit berbunga bila fluktuatif sesuai dengan fluktuasi naik turunnya bunga. Sedangkan angsuran pada murabahah bersifat tetap/fix mulai pertama angsuran sampai akhir.

3. Pada kredit berbunga, nasabah berada dalam posisi lemah karena segala kebijakn ditetapkan sepihak (pihak bank), sedangkan pada kredit Islam posisi nasabah adalah mitra dan berada dalam posisi tawar yang sama.

Adapun pemakaian kartu pada transaksi jual beli yang umum berlaku selama ini berikut pembahasannya.
Pertama ,  pemiliknya mempunyai rekening dengan jumlah nominal tertentu di bank yang telah mengeluarkan kartu tersebut, kemudian pemilik kartu melakukan transaksi pembelian dengan kartu tersebut dari sejumlah counter bisnis bersama di sejumlah negara, dengan tidak melebihi jumlah nominal yang ada di dalam rekeningnya. Pemilik kartu tersebut bisa membeli dari counter- counter bisnis tersebut tanpa harus membayar (dengan uang cash), melainkan dengan menggesek kartu dan menandatangani kertas senilai pembeliannya. Counter bisnis tersebut kemudian menerima nilai pembelian dari rekening pemilik kartu di bank yang mengeluarkan kartu tersebut, atau banklah yang akan membayar nilai pembelian kepada counter bisnis tersebut dari rekening pemilik kartu.

Kartu seperti ini hukumnya boleh, dan faktanya adalah fakta hiwalah dan wakalah, dimana pembeli melakukan pembayaran kepada pihak penjual melalui bank yang mengeluarkan kartu. Bank ini statusnya sebagai wakil pembeli untuk membayar harga barang yang dibeli kepada penjual melalui rekening pembeli di bank tersebut. Jadi, yang diambil oleh bank dari pembeli, pemilik kartu, sebagai uang ganti pembayaran kepada penjual atas harga barang yang dibeli faktanya merupakan fakta upah wakalah. Hanya saja, transaksi yang dilakukan oleh pemegang kartu ini, seperti pembelian emas dan perak, dengan tidak membayar harganya, serta merujuknya penjual kepada bank (pengeluar kartu) untuk membayar harganya adalah transaksi yang haram, karena proses serah terima secara langsung (at-taqabudh al-fauri) merupakan syarat sahnya jual beli emas dan perak. Jika tidak, maka termasuk riba. Ini berlaku kalau bank tersebut merupakan institusi khusus, atau merupakan milik negara. Maka, jenis kartu seperti ini hukumnya boleh.

Jenis kartu kedua dikeluarkan oleh bank kepada pemegangnya, sementara dia tidak mempunyai rekening yang cukup untuk menutup (pembayaran) barang yang dibeli, lalu pemegang kartu tersebut melakukan transaksi pembelian dari counter bisnis bersama, dan menandatangani kertas, dimana counter bisnis tadi akan menerima dari bank, pengeluar kartu tersebut, harga yang harus dibayar, kemudian bank yang bersangkutan akan mencatat nominal uang tersebut kepada pemilik kartu, dengan penambahan, sebagai tambahan nominal, yang akan ditutup oleh bank dari pemegang kartu berdasarkan daftar pembayaran, melalui kredit tertentu.

Fakta kartu seperti ini adalah fakta jaminan bank kepada pembeli. Artinya, bank menjamin pembeli, sementara counter-counter bisnis akan menjual kepada pemegang kartu (pembeli) tersebut dengan jaminan bank. Sebagai pengeluar kartu, banklah yang akan membayar nilai barang yang dibeli. Dengan kata lain, kartu tersebut merupakan dokumen penjaminan dari bank, dimana bank sebagai penjamin (ad-dhamin), pembeli sekaligus pemegang kartu sebagai yang dijamin (al-madhmun ‘anh), counter bisnis sekaligus penjual yang mendapat jaminan (al-madhmun lah), nilai barang yang dibeli (hak yang wajib ditunaikan, sebagai tanggungan pembeli).

Hanya saja, konteks jaminan seperti ini tidak memenuhi kualifikasi syar’i, karena jaminan dalam Islam meleburkan suatu tanggungan kepada tanggungan lain untuk menunaikan hak yang wajib ditunaikan kepada tanggungan ini, tanpa kompensasi apapun. Seorang penjamin akan membayar hak yang wajib ditunaikan, sebagai tanggungan orang yang dijamin (al-madhmun ‘anh) kepada orang yang mendapat jaminan (al-madhmun lah), tanpa kompensasi apapun. Tetapi, bank tersebut membayar nilai barang yang dibeli dengan kompensasi, atau nominal uang tertentu. Karena itu, kartu-kartu kredit seperti ini secara syar’i tidak boleh (haram), dari aspek ini. Selain, bahwa bank tersebut akan mencatat nilai barang yang dibeli sebagai hutang pembeli, dan membayarnya dengan tambahan (riba). Dari aspek ini, secara syar’i juga tidak diperbolehkan.