Rahasia Shalat Dhuha

Allah SWT dalam beberapa ayat bersumpah dengan waktu dhuha. Dalam pembukaan surat Assyams, Allah berfirman, ''Demi matahari dan demi waktu dhuha.'' Bahkan, ada surat khusus di Alquran dengan nama Addhuha.

Pada pembukaannya, Allah berfirman, ''Demi waktu dhuha.'' Imam Arrazi menerangkan bahwa Allah SWT setiap bersumpah dengan sesuatu, itu menunjukkan hal yang agung dan besar manfaatnya. Bila Allah bersumpah dengan waktu dhuha, berarti waktu dhuha adalah waktu yang sangat penting. Benar, waktu dhuha adalah waktu yang sangat penting. Di antara doa Rasulullah SAW: Allahumma baarik ummatii fii bukuurihaa. Artinya, ''Ya Allah berilah keberkahan kepada umatku di waktu pagi.''

Ini menunjukkan bahwa orang-orang yang aktif dan bangun di waktu pagi (waktu subuh dan dhuha) untuk beribadah kepada Allah dan mencari nafkah yang halal, ia akan mendapatkan keberkahan. Sebaliknya, mereka yang terlena dalam mimpi-mimpi dan tidak sempat shalat Subuh pada waktunya, ia tidak kebagian keberkahan itu.

Abu Dzar meriwayatkan sebuah hadis. Rasulullah SAW bersabda, ''Bagi tiap-tiap ruas anggota tubuh kalian hendaklah dikeluarkan sedekah baginya setiap pagi. Satu kali membaca tasbih (subhanallah) adalah sedekah, satu kali membaca tahmid (alhamdulillah) adalah sedekah, satu kali membaca takbir (Allahu Akbar) adalah sedekah, menyuruh berbuat baik adalah sedekah, dan mencegah kemungkaran adalah sedekah. Dan, semua itu bisa diganti dengan dua rakaat shalat Dhuha.'' (HR Muslim).

Aisyah menceritakan bahwa Rasulullah SAW selalu melaksanakan shalat Dhuha empat rakaat. Dalam riwayat Ummu Hani', ''Kadang Rasulullah SAW melaksanakan shalat Dhuha sampai delapan rakaat.'' (HR Muslim). Imam Attirmidzi dan Imam Atthabrani meriwayatkan sebuah hadis yang menjelaskan bahwa bila seseorang melaksanakan shalat Subuh berjamaah di masjid, lalu ia berdiam di tempat shalatnya sampai tiba waktu dhuha, kemudian ia melaksanakan shalat Dhuha, ia akan mendapatkan pahala seperti naik haji dan umrah diterima. Para ulama hadis merekomendasikan hadis ini kedudukannya hasan.

Jelaslah bahwa shalat Dhuha sangat penting bagi orang beriman. Penting bukan karena--seperti yang banyak dipersepsikan--shalat Dhuha ada hubungannya dengan mencari rezeki, melainkan ia penting karena sumpah Allah SWT dalam Alquran. Maka, sungguh bahagia orang-orang beriman yang memulai waktu paginya dengan shalat Subuh berjamaah di masjid, lalu dilanjutkan dengan shalat Dhuha.

Makna Islam Sebagai Rahmat Bagi Alam Semesta

Memahami Rahmat Islam

“Dan tidaklah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam.” (QS 21: 107). Ayat di atas sering dijadikan hujjah bahwa Islam adalah agama rahmat. Itu benar. Rahmat Islam itu luas, seluas dan seluwes ajaran Islam itu sendiri. Itu pun juga pemahaman yang benar.

Sebagian orang secara sengaja (karena ada maksud buruk) ataupun tidak sengaja (karena pemahaman Islamnya yang tidak dalam), sering memaknai ayat tersebut diatas secara menyimpang. Mereka ini mengartikan rahmat Islam harus tercermin dalam suasana sosial yang sejuk, damai dan toleransi dimana saja Islam berada, apalagi sebagai mayoritas. Sementara dibaliknya sebenarnya ada tujuan lain atau kebodohan lain yang justru bertentangan dengan Islam itu sendiri, misalnya memboleh-bolehkan ucapan natal dari seorang Muslim terhadap umat Nasrani atau bersifat permisive terhadap ajaran sesat yang tetap mengaku Islam.

Allah SWT Yang Maha Suci

Allah Swt bukanlah jisim (korporeal) yang berbentuk, bukan jauhar (element) yang bisa dibatasi dan diukur. Dia tidak seperti jisim (benda), yang bisa diukur dan bisa dibagi. Dia bukan jauhar dan juga bukan yang ditempati oleh jauhar, bukan ‘aradh (sifat yang ada pada elemen ) dan juga bukan yang ditempati oleh ‘aradh. Dia tidak seperti segala sesuatu yang diwujudkan-Nya, bahkan segala sesuatu yang diwujudkan-Nya juga tidak seperti Dia. Tidak ada sesuatu pun yang menyamai-Nya, dan Dia tidak sama apa pun. Dia tidak bisa diukur oleh apapun dan tidak terjangkau oleh penjuru. Dia tidak diliputi oleh arah dan tidak termuat oleh bumi dan langit. Dia “bersemayam“ (Istiwa ) di Arasy sesuai dengan maksud dan aspek yang difirmankan-Nya, sesuai dengan makna yang dikehendaki-Nya, dengan istiwa yang tersucikan dari bersentuhan, menetap, bertempat, menempati dan berpindah-pindah. Dia tidak dibawa oleh Arasy, namun justru Arasy dan para malaikat penjaga Arasy dibawa oleh kelembutan kekuasaan-Nya dan di paksa berada dalam “genggaman” - Nya. Dia berada “diatas“ Arasy, langit dan “diatas” segala sesuatu sampai pada batas bintang yang tertinggi sekalipun, dengan ketinggian yang tidak bisa menambah dekat dengan Arasy dan langit, sebagaimana tidak bisa semakin jauh dari bumi dan dataran yang paling rendah sekalipun, bahkan Dia-lah Yang Maha tinggi derajat-Nya dari Arasy dan langit. Dia lebih tinggi derajat-Nya daripada bumi dan dataran paling rendah. Meskipun begitu Dia lebih dekat dengan segala sesuatu yang ada, Dia lebih dekat kepada hamba-Nya daripada urat lehernya. Dia menyaksikan segala sesuatu, dekatnya tidak sama seperti jisim (benda) , demikian pula Dzat-Nya. Dia tidak menempati benda dan tidak ditempati oleh benda. Tidak membutuhkan ruang dan waktu, bahkan Dia wujud sebelum diciptakannya ruang dan waktu, sementara Dia sekarang masih tetap seperti semula. Dia sama sekali tidak berbeda dengan makhluk-Nya dalam segi sifat-sifat-Nya. Dia dalam Dzat-Nya tidak ada unsur lain, sementara pada yang lain juga tidak ada Dzat-Nya. Dia suci dari segala perubahan dan pergantian, tidak ditempati oleh segala yang bersifat baru (hawaadits) dan tidak dihinggapi oleh sifat-sifat baru yang non-esensial, akan tetapi Dia senantiasa dalam sifat-sifat keagungan-Nya yang tersucikan dari sifat aus dan sirna, dalam sifat-sifat kesempurnaan-Nya itu tidak memerlukan penyempurnaan tambahan. Wujud Dzat-Nya dapat diketahui secara rasional, dan dapat dilihat melalui mata hati, sebagai nikmat dan kelembutan-Nya terhadap orang-orang yang baik disurga yang abadi, untuk menyempurnakan terhadap nikmat-nikmat-Nya adalah dengan bisa dengan menyaksikan “Wajah”-Nya Yang Mulia.


Dikutip dari kitab Qawaa’idul “Aqaaid Fit-tauhid Karya Imam Al-Ghazali.
(TAUHIDULLAH, Penerbit Risalah Gusti, Surabaya)